Terik matahari menyengat kota yang selalu sibuk. Bising dari suara kereta api, bemo dan bunyi bel berbagai kendaraan yang saling menyahut semakin memeningkan kepala. Ribuan manusia kocar-kacir mengurusi dirinya sendiri. Kriminalitas dimana-mana. Bahaya mengintai tak pandang bulu. Sedangkan para koruptor sedang berfoya-foya menikmati uang rakyat yang telah mereka rebut. Keserakahan tak terperi. Jakarta.
Di sebuah rumah yang sangat sederhana, tengah menunggu seorang anak berseragam sekolah biru putih dengan sepedanya yang mengkilat-kilat mamantulkan cahaya matahari. Dari dalam rumah terdengar bunyi suara mesin jahit dan suara anak laki-laki. ”Bu, Bastian berangkat sekolah dulu,” terlihat dari kaca jendela anak laki-laki itu mencium tangan ibunya dan melangkah keluar menjemput sepedanya lalu menghampiri anak laki-laki yang sedaritadi menunggunya.
”Assalamu’alaikum,” ucap mereka hampir bersamaan.
”Wa’alaikumsalam,” jawab ibu Bastian dari dalam rumah.
Dan berangkatlah mereka ke sekolah yang jauhnya tak kurang dari empat kilometer itu. Berbekal seragam, sepatu dan tas yang lusuh, mereka terus mengayuh sepeda, menyusuri sungai-sungai yang rohot, melewati rumah-rumah yang berdempetan dan menantang matahari demi mengisi otak mereka yang haus akan ilmu.
Api semangat mereka tak pernah padam dihempas oleh waktu. Cita-cita yang tinggi sudah terpatri dalam benak mereka. Mereka yakin bahwasannya semangat akan mengalahkan segalanya.
Nasib keluarga Bastian semakin pilu semenjak ayahnya yang bekerja sebagai pegawai pos itu meninggal karena penyakit jantungnya. Rumah satu-satunya terpaksa harus dijual untuk melunasi hutang keluarganya. Dan kini, di rumah yang amat kecil ini, mereka berlindung dari bahaya yang mengintai di luar sana.
Di kota yang semuanya serba mahal ini, Bu Lastri harus membanting tulang memenuhi kebutuhan hidupnya dan kedua anaknya: Bastian dan Sekar, adik Bastian. Bu Lastri bekerja serabutan sebagai penjahit, namun jika sepi, terkadang ia juga mencucikan pakaian tetangganya. Dari pekerjaan itulah mereka dapat hidup.
Karena penghasilan yang begitu minim, Bastian, anak laki-laki usia 14 tahun ini harus bekerja untuk membiayai uang sekolahnya. Pagi, ia harus mengantarkan koran-koran ke rumah pelanggannya. Siang bolong yang sinarnya mudah saja menanarkan mata, ia gunakan untuk sekolah. Memang, sekolahnya itu didirikan khusus untuk anak-anak kurang mampu yang harus bekerja di pagi hari, sehingga mereka sekolah siang hari. Sorenya, ia mesti mengantarkan kue buatan tetangganya ke warung-warung. Begitulah, tak ada waktu luang untuk bermain ataupun sekedar menonton TV. Hari-harinya selalu sibuk, tapi bukan sibuk karena mengikuti kursus dimana-mana, melainkan sibuk bekerja.
Aku takkan pernah menyerah. Aku akan terus berjuang. Aku harus dapat beasiswa. Aku tak ingin mengecewakan Ayah. Pendidikan, ya, pendidikan harus kuperjuangkan! Itulah kata-kata ajaib yang selalu menggema di hati Bastian. Membakar semangatnya hingga meluap-luap, meleburkan semua kerikil keputusasaan untuk meraih mimpinya, cita-cita yang tak pernah goyah.
”Bastian, apa cita-citamu, Nak?” begitulah tanya Ayah Bastian semasa hidup, waktu Bastian berumur tujuh tahun. Tapi Bastian kecil hanya diam, memutar-mutar otaknya dan juga memutar bola matanya yang bening itu.
”Cita-cita? Apa itu, Yah?” tanyanya dengan polos.
”Cita-cita itu, keinginan Bastian sewaktu besar nanti ingin menjadi apa ?” jelas Ayah Bastian sambil mengelus-elus rambut jagoan kecilnya. Ayahnya tidak memaksa Bastian untuk menjawab pertanyaan yang sebenarnya tak perlu dijawab oleh bocah kecil itu.
Ayahnya tahu bahwa Bastian mempunyai bakat menulis seperti dirinya. Bastian kecil senang menulis cerita semenjak ia bisa baca tulis.
”Bastian ingin jadi seperti Pak Makruf” celetuk Bastian dengan penuh kepolosan. Pak Makruf tak lain adalah guru TK Bastian kecil. Ayah Bastian tersentak mendengar jawaban puteranya. Dia bisa melihat kepolosan itu dari sorot mata Bastian yang begitu jernih.
”Ya, bagus itu, Nak. Kamu harus bisa jadi apa yang kamu mau. Kejarlah cita-citamu.” Bastian tak acuh ia sedang asyik dengan mobil-mobilannya.
Namun kini cita-cita kecil itu telah menjelma menjadi cita-cita yang begitu istimewa dan mulia. Bastian ingin menjadi Menteri Pendidikan. Ya, Menteri Pendidikan. Tapi mengapa? Mengapa ia tak ingin jadi penulis saja? Mengingat bakatnya yang potensial itu.
Selidik punya selidik, ternyata ia sangat peka dan perhatian terhadap kondisi perkembangan pendidikan di Indonesia. Pendidikan masih mahal, banyak anak yang tidak bisa menikmati rasanya duduk di bangku sekolah. Bahkan ia sendiri merasakan betapa dirinya harus bekerja membanting tulang untuk membiayai sekolahnya sendiri. Padahal, pendidikan merupakan kunci untuk memajukan ibu pertiwi. Itulah sebabnya, ia begitu terobsesi untuk menjadi Menteri Pendidikan. Bocah cerdas ini ingin memajukan pendidikan di tanah airnya.
Tidak seperti biasanya, pagi ini Bastian tidak mengantar koran ke rumah-rumah pelanggannya, tidak juga mengambil jajanan tetangganya seperti yang biasa ia lakukan.
”Bastian, kamu tidak mengantarkan koran hari ini ?” tanya ibu Bastian ketika mendapati puteranya sedang mengemasi buku-buku pelajaran yang lusuh itu.
”Ndak, Bu” jawabnya singkat.
”Lha kamu mau kemana? Kok bawa buku sebanyak itu, ha?” kaca-matanya ia turunkan, memastikan apa yang sedang Bastian lakukan.
”Mau ngajak Heri ke alun-alun, Bu” jawab Bastian. Ibunya semakin tak mengerti. Lalu ibunya duduk melepaskan kacamatanya. Mengamati puteranya dari ujung kaki sampai ujung rambut. Apa yang akan dilakukan anakku dengan anak mandor galak itu? Pikirnya dalam hati. Seolah mengerti apa yang sedang ibunya pikirkan, Bastian tersenyum simpul, kemudian mulai nglantur.
”Aku mau berkelahi sama Heri”.
Mendengar perkataan anaknya, telinga Bu Lastri langsung berdiri seperti baru tersengat.
“Apa? Berkelahi? Jangan, Nak!” Beliau memicing-micingkan kepalanya dan telunjuknya menuding-nuding. ”Jangan cari gara-gara sama anak Pak Jukri itu! Bisa gawat!” Ibu Bastian gemetar menepuk-nepuk Bastian. Melihat reaksi ibunya, Bastian terkekeh-kekeh. Sebenarnya, perpustakaan, buku, tas, dan penampilan Bastian tidak ada hubungannya dengan perkelahian, bukan? Tapi, bukan Ibu Lastri jika tidak dramatis. Dan darah dramatisan itu juga mengalir dalam darah Bastian.
”Nggak, kok, Bu. Bastian cuma bercanda. Bastian nggak mau berkelahi dengan Heri. Bastian mau ngajak Heri ke perpustakaan dan mau mengajar teman-teman Heri dan Bastian, Bu.” Bastian tersenyum bangga. Dan kalimat itu seolah memadamkan api kekhawatiran ibunya. Ibunya menghela napas lega tapi ganjil. Tak ada ucapan syukur, yang ada keadaan semakin membeku.
”Heeeeh…” Bu Lastri menghela napas seperti meremehkan, sambil berbalik menuju mesin jahitnya. ”Kamu itu nggak usah neko-neko. Gak usah sok jadi pahlawan. Orang udik kaya kita ini, cari uang aja susahnya minta ampun,” cetusnya. Beberapa menit kemudian suasana hening. Bastian tak dapat berkata-kata. Kata hatinya selalu bertentangan dengan ibunya. Kemudian Bu Lastri melanjutkan.
”Kerja saja sana… Cari uang yang banyak biar bisa beli rumah yang bagus.” Bulu kuduk Bastian merinding mendengar kata-kata ibunya. Dan seketika itu, ia merasakan kerinduan yang amat dalam pada ayahnya. Dulu semasa hidup, Ayahnya selalu, selalu, tak pernah tidak membela Bastian. Memotivasi Bastian di saat-saat seperti ini. Di saat-sat yang membuat nyalinya mengecil. Ibunya sendiri yang selalu menentangnya. Tapi, Bastian tak pernah mengerti mengapa ibunya selalu bersikap seperti itu. Mungkin ia sudah putus harapan.
Dulu, Bastian mudah bangkit dari batin yang terhimpit. Itu karena ada ayahnya. Namun kini ia harus berusaha sendiri mengumpulkan puing-puing kepercayaan dirinya yang sempat runtuh hanya karena satu, dua kalimat yang terlontar dari mulut ibunya.
Bastian bangkit dari kursinya dan berdiri di ambang pintu. Jarak dua meter di depannya, ia melihat sepeda kecilnya yang sudah tua. Mengkilat-kilat menyilaukan. Kini, Bastian pergi ke alam imajinasinya. Melihat semua kenangan tentang dirinya, ayahnya, dan sepeda itu. Sepeda yang ayahnya belikan tujuh tahun yang lalu karena Bastian mendapat juara satu dulu, kini menjadi barang satu-satunya yang berharga.
Air matanya tak bisa dibendung lagi. Air matanya telah meleleh membasahi pipinya. Bastian tak menghalanginya. Tatapannya sendu tapi penuh arti. Kerinduan tak terungkapkan. Suara mesin jahit, burung-burung yang berkicau, deru angin yang berbisik-bisik menjadi warna tersendiri yang memilukan.
Sejurus kemudian, ia tersadar. Ia mengusap-usap pipinya yang basah. Tanpa melirik sedikitpun pada ibunya, Bastian lari menuju sepedanya dan menaikinya. Bu Lastri melongok keluar jendela. Kepalanya menggelang-geleng. Raut mukanya seperti mau berkata “Keras kepala”.
Setelah kurang lebih 25 menit mengayuh sepeda, akhirnya Heri dan Bastian tiba di tempat yang mereka tuju. Di sebuah kolong jembatan itu, tengah menunggu lima orang anak berbaju kumal. Tapi wajah mereka tampak sumringah menyambut kedatangan Bastian dan Heri. Kelima anak itu: Udin, Ayu, Maya, Igor dan Tomo segera menghampiri mereka.
”Kalian sudah min…” Belum sempat Heri selesai bicara, Udin yang berperawakan kecil dan bersuara parau itu sudah menukasnya. “Tenang saja Bang Heri. Semua beres!” katanya sambil menyilangkan tangannya. Tawa pun pecah. Timbul tenggelam ditelan suara kendaraan menderu. Lalu, mereka mulai sibuk membantu membawakan papan kecil, tikar, serta buku-buku yang dipinjam dari perpustakaan yang dikaitkan sekenanya pada sepeda Heri. Dengan terbopoh-bopoh mereka menggiringnya ke tepi.
Heri. Sahabat kecil Bastian itu selalu setia. Bapaknya adalah mandor galak. Tapi untung tak menurun pada Heri yang perangainya sabar itu. Tubuhnya agak gemuk. Matanya bulat kecil. Hidung dan mulutnya pun kecil tapi lucu. Ya, Heri memiliki baby face.
Setelah beberapa menit beristirahat, kegiatan belajar-mengajar pun dimulai. Bastian bertugas menerangkan di papan tulis, sementara Heri menjelaskan kepada teman-temannya jika ada yang tidak mengerti. Sungguh pemandangan yang asing bak sebuah batu pualam di antara batu-batu kali.
Suara Bastian terdengar agak parau karena ia harus berlomba dengan suara bising dari kendaraan di jalan raya. Kini Heri dan Bastian memiliki kebiasaan baru mengajar teman-temannya seminggu dua kali sebelum sekolah.
Semakin hari, anak-anak jalanan yang ikut belajar semakin banyak. Mungkin karena belajar ini gratis, tidak perlu membayar SPP, seragam, buku-buku paket dan lain sebagainya. Mereka hanya bermodalkan buku dan alat tulis seperlunya. Dan yang paling penting, serta yang membuat Bastian bangga adalah semangat mereka. Mereka tidak bersekolah bukan karena mereka malas, melainkan memang karena tak ada biaya. Begitulah kira-kira kesimpulannya.
Pagi yang cerah. Bastian menikmati suasana pagi ini dengan mengelap sepedanya. Di beranda rumahnya itu tampak ia sedang bersiul-siul sambil mengelap setiap sisi sepedanya dengan lembut seakan ia tak mau sebutir debu pun menempel pada sepedanya itu.
Namun tiba-tiba suasana berubah ketika Heri datang terseok-seok dengan sepedanya. Keringatnya bercucuran dan ia langsung menghempaskan sepedanya ke tanah lalu buru-buru menghampiri Bastian. Napasnya masih tersengal-sengal.
”Ada apa, Her?” tanya Bastian keheranan.
”Kamu dikejar anjing lagi?” Heri menggeleng. Ia menyerahkan selembar pamflet pada Bastian dan mulai bercerita.
”Gi . . . gini, Bas,” katanya sedikit gagap.
”Aku tadi nemuin pamflet ini di depan rumahku. Mungkin ada orang yang membuangnya di situ.” Bastian membaca pamflet itu. Kepalanya bergerak dari kiri ke kanan mengikuti alur tulisan. Dari air muka Bastian, Heri dapat membaca kegembiraan sahabatnya.
”Gimana? Kamu ikut, kan?” Heri penasaran.
“Pasti! Pasti, Her! Ini kesempatan emas! Bagaimana pun caranya aku harus ikut!” Bastian melonjak-lonjak excited sambil menepuk-nepuk bahu Heri.
Pamflet itu tak lain adalah tentang lomba karya tulis. Heri tahu bahwa kawannya itu memiliki bakat menulis yang luar biasa. Setiap karyanya pasti ditunjukkan pada Heri. Hanya saja ia belum pernah ikut lomba. Tapi kini kesempatan itu datang melalui Heri. Kesempatan yang takkan pernah disia-siakan. Kesempatan ini layaknya sebuah pintu menuju gudang emas. Bila Bastian bisa membukanya, ia akan mendapatkan apa yang ia impikan. Beasiswa pendidikan.
Tak ada kesulitan yang berarti bagi Bastian untuk menulis, mengingat menulis adalah hobinya. Maka tak ayal jika hanya dalam waktu dua puluh lima hari karyanya sudah rampung. Ia bekerja keras demi mendapatkan beasiswa itu. Hanya saja ia bingung kemana ia harus mengetikkan makalahnya. Dirinya dan Heri tak memiliki komputer. Pun tidak ada rental-an disekitar rumahnya. Tapi tiba-tiba ia teringat tentang Om Husen, sahabat almarhum ayahnya yang juga pegawai Pos. Keluarganya sudah mengenal baik keluarga Om Husen.
Tak buang waktu, pagi ini ia langsung pergi mengayuh sepedanya 5 km jauhnya untuk bersilaturrahim dengan Om Husen sekaligus meminta bantuannya untuk meminjam komputernya untuk mengetik karya tulisnya.
Sesampainya di rumah Om Husen, Bastian bercerita banyak mengenai ia dan keluarganya serta karya tulis yang akan ia lombakan. Dengan senang hati Om Husen mau membantu Bastian mengetik karya tulisnya.
Setelah lima hari berturut-turut ia harus bolak-balik 10 km untuk mengetikkan karya tulisnya itu di rumah Om Husen, akhirnya hari ini selesai sudah pengetikan, pengaturan dan penjilidan. Tanpa buang waktu, hari itu juga ia pergi ke kantor pos untuk mengeposkannya. Dia mengucapkan banyak terima kasih kepada Om Husen yang telah membantunya.
“Om juga senang membantumu, Bas. Dulu sewaktu bapakmu masih hidup, beliau juga sering membantu Om. Kini giliran Om yang membantumu. Karyamu itu…” cerita Om Husen sambil menuding-nudingkan telunjuknya. “Sungguh luar biasa. Persis seperti ayahmu, penulis amatiran. Ha . . . ha . . . ha . . .” tawanya meledak-ledak.” Tapi jangan salah . . . Biarpun begitu, karyanya . . . .” Om Husen mengacungkan jempolnya. “Bak karya-karya penulis andal. Ha . . . ha . . . ha . . . ” Bastian tersenyum bangga.
Dua minggu sudah Bastian menunggu pengumuman lomba itu. Tapi belum ada kabarnya. Padahal, dalam hatinya ia berharap untuk bisa memenangkan lomba itu. Tapi . . . mungkinkah ia kalah?
Bastian mondar-mandir di depan pintu sambil berkacak pinggang. Sesekali ia menggaruk-garuk kepalanya dan melongok ke halaman, berharap seseorang bermotor oranye membunyikan belnya dan berhenti di depan rumahnya seraya menyerahkan amplop besar. Ibunya yang sedang menjahit hanya bisa mengamati puteranya.
Sudah hampir setengah jam Bastian hilir mudik seperti itu layaknya orang amnesia yang sedang bingung mencari rumahnya. Kini ibunya mulai bosan.
“Sudahlah, Bas. . . Kalau belum rejeki ya nggak apa-apa, masih ada kesempatan lagi.” Ibunya berkata dengan nada pesimis. Namun Bastian malah menunjukkan sikap keras kepalanya. Perkatan Ibunya seperti masuk dari telinga kanan dan keluar dari telinga kiri. Sama sekali tak digubrisnya.
Tapi beberapa menit kemudian sebuah kejaiban datang. “Tin . .Tin. . ” suara bel terdengar dari luar pagar. Pak Pos datang dengan membawa sebuah amplop besar coklat. Wajah Bastian berseri-seri menerima amplop itu. Jantungnya berdegup cepat. Darahnya mengalir deras.
Dibawanya amplop itu pada ibunya. Bu Lastri langsung melepaskan kacamatanya. Mereka pun duduk sigap di sofa reyot miliknya. Perlahan, Bastian membuka amplop itu. Di muka amplop terlukis jelas stempel lembaga penyelenggara lomba. Dikeluarkannya sebuah kertas berwarna merah marun yang bertuliskan :
”SELAMAT”
Anda menjadi Juara 1 Lomba Karya Tulis tingkat Nasional
Mata Bastian berkaca-kaca. Ia menitikkan air matanya. Tapi lama-lama air matanya mengalir deras. Mulutnya komat-kamit mengucapkan Alhamdulillah.
Bu Lastri hanya terdiam. Tatapannya kosong tapi ganjil. Ia menatap jauh. . . Nun jauh di sana ia seperti sedang melihat almarhum suaminya berdiri di sana dan tersenyum pada mereka. Namun kemudian Bu Lastri berpaling pada Bastian yang wajahnya memerah. Lalu tersenyum manis dan memeluk Bastian. Air matanya bercucuran. “Alhamdulillah . . . Nak” ucapnya sambil menahan haru. “Sekolah, Bu . . . Sekolah!” Suara Bastian terdengar bergetar dalam dekapan ibunya. Bu Lastri manggut-manggut dan menciumi kening Bastian.
Hari itu seolah para malaikat turun dari langit membawa berita gembira serta memberikan seberkas sinar harapan. Para bidadari seolah turun dari kayangan dan menari-nari di antara mereka. Tak ketinggalan keluarga kupu-kupu, capung, lebah, semut, semuanya bergabung dalam sebuah orkestra harmoni. Burung pun bernyanyi meramaikan suasana. Hari itu salju seperti turun di padang Sahara. Menyejukkan hati yang nyaris tandus harapan. Bunga-bunga bersemi di musim gugur. Pelangi pun turun di malam hari. Semua itu hanya terjadi hari ini. Hanya untuk menghiasi hati seorang bocah yang telah menunggu keajaiban ini datang.
Sepuluh tahun kemudian
Mentari bersinar cerah. Musim semi telah mampir. Bastian sedang bersandar pada pohon hawthorn yang sendu. Daunnya yang lebat menaungi tubuh jangkung Bastian. Tatapannya jauh menghampiri riak sungai Seine, tenang, tapi berirama syahdu.
Hampir dua tahun ia meninggalkan tanah kelahirannya. Ia masih tak percaya bahwa sekarang ia sedang berpijak di negeri orang, Paris. Menempuh pendidikan yang selama ini tak terbayangkan. Mencoba menelusuri kembali mimpi-mimpi yang dulu ia pertaruhkan. Ia pertaruhkan di tengah kemayaan riang. Betapa ia takjub atas Keagungan Tuhan yang telah memeluk dan mewujudkan mimpinya. Ia ingat, seandainya saja Heri tidak memberikan pamflet itu padanya, pasti sekarang ini ia sedang terlunta-lunta di jalanan karena putus sekolah. Tapi sekarang ia telah berhasil mendapatkan beasiswa.
Sorbonne. Tempat dimana ia menimba ilmu sekarang ini telah menjadi saksi bisu akan kekuatan mimpi dan semangat yang mengantarkan orang udik seperti Bastian ke tempatnya.
Namun di sela-sela perasaan kagum itu, tersirat satu perasaan rindu yang begitu mendalam. Betapa ia rindu pada ayahnya, ibunya, Sekar, Heri, teman-temannya, Om Husen dan Jakarta tentunya. Bagaimana keadaan mereka sekarang? Sedang apa mereka semua? Ingin sekali ia bertemu dengan mereka detik ini juga. Namun apa daya ia saat ini, karena di sini ia harus mengantongi ilmu sebanyak-banyaknya untuk dibawa pulang ke tanah air. Mewujudkan satu lagi mimpinya. Memajukan ibu pertiwi melalui pendidikan.
THE END